Rabu, 16 Februari 2011

asalusul Taj Mahal

aj Mahal, seperti halnya Mahatma Gandhi
dan Bollywood, akan selalu terikut saat
kita membincang India. Bangunan cantik
terbuat dari marmer putih itu sejatinya
adalah sebuah makam. Bangunan bergaya
arsitektur Hindu-Islam itu didirikan pada abad ke-17. Pembangunannya memakan
waktu sekitar 20 tahun (1632-1653).
Terletak di Agra, , negara bagian Uttar-
Pradesh, India, 200 kilometer dari New
Delhi. Agra berada di sisi Sungai Yamuna
(Jumuna), dan sebagaimana kota-kota yang berada di tepi sungai besar, merupakan
kota perdagangan dan industri. Taj Mahal dibangun oleh Sultan Jehan atau
Shah Jahan (1614-1666) sebagai
persembahan cintanya kepada mendiang
sang istri terkasih, Arjumand, yang selalu
disebutnya Mumtaz Mahal (Istana Pilihan).
Meskipun Mumtaz istri kedua (versi lain menyebutkan ia istri kelima), namun ia
adalah istri kesayangan Sultan. Mumtaz
meninggal dunia setelah melahirkan putra
ke-14. Sultan sangat berduka-cita
sepeninggalnya. Untuk mengenang dan
mengabadikan rasa cintanya kepada Mumtaz, ia kemudian membangun
monumen indah dan megah itu. Keagungan Taj Mahal telah termasyhur ke
seantero dunia. Ia menjadi salah satu objek
wisata paling banyak dikunjungi di India.
Kemegahannya menyimpan kisah cinta
abadi sekaligus tragedi dalam banyak versi.
John Shors adalah salah satu penulis yang tergoda dan terinspirasi untuk menuliskan
sepotong kisah di balik keindahan
bangunan mosuleum itu dalam bentuk
novel (fiksi) sejarah bertajuk Beneath A
Marble Sky: A Novel of The Taj Mahal
(2004). Dalam versi John Shors, dipaparkan bukan
saja ihwal cinta abadi Sultan dengan
permaisurinya, namun juga asmara
terlarang antara Jahanara, putri Sultan,
dengan Ustad Isa, arsitek yang merancang
Taj Mahal. Bahkan, John Shors lebih menonjolkan roman kedua anak muda
tersebut dalam novel perdananya ini. Perkenalan Jahanara dengan Isa bermula
saat Sultan memerintahkan putrinya itu
untuk mengawasi jalannya proyek
pembangunan Taj Mahal. Kala itu Jahanara
berstatus istri Khondamir, seorang
suadagar perak, lelaki kasar yang tak pernah diimpikan Jahanara sebagai suami.
Sebagai seorang putri sultan, ia harus mau
melakoni nasib malangnya dijodohkan
kepada lelaki yang bukan pilihannya demi
sebuah alasan politis atau kepentingan
kerajaan. Sepanjang kehidupan perkawinannya,
Jahanara menderita lahir batin. Khondamir
suami yang bukan saja buruk rupa, tetapi
juga kasar dan bebal. Tak setetespun
kebahagiaan direguk Jahanara setelah
menikah dengan Khondamir. Ia merindukan masa-masa remaja ketika ia masih
berkumpul bersama-sama ayah, ibu, dan
saudara-saudaranya di istana. Ia selalu
ingin kabur dari suami dan rumahnya yang
sekarang. Hari kebebasan itu datang bersamaan
dengan dimulainya pembangunan Taj
Mahal. Di sini, Jahanara bukan saja
menemukan kebebasan, tetapi juga cinta
sejatinya: Isa. Asmara terlarang itu bersemi
subur tanpa mampu dicegah oleh keduanya. Sultan yang sangat menyayangi
putrinya pada akhirnya justru menjadi
pendukung utama percintaan mereka.
Restunya ini sebagai pembayar rasa
bersalahnya karena telah mengawinkan
Jahanara dengan Khondamir. Seiring perjalanan cinta Jahanara dan Isa,
Jhon Shors menghadirkan pula hiruk-pikuk
kemelut kehidupan istana yang penuh
intrik, pengkhianatan, dan peperangan.
Sultan yang kian menua telah
mempersiapkan Dara, putra sulungnya, sebagai pewaris di bawah bayang-bayang
nafsu berkuasa Aurangzeb, adik Dara, yang
telah lama mengincar takhta tersebut.
Perseteruan kedua bersaudara itu
merupakan sajian lain yang tak kalah
menarik di novel ini. Kisah-kisah di balik dinding istana selalu
terasa memikat untuk digunjingkan. Di sana
seolah-olah senantiasa tersedia skandal
yang seru untuk diungkap ke hadapan
panggung dunia Seakan-akan ada seribu
misteri membalut kehidupan para bangsawan yang tinggal di baliknya yang
menggelitik untuk diintip. Harta, takhta,
dan kekuasaan sepertinya akrab dengan
pengorbanan, tragedi, pengkhianatan, dan
lumuran darah. John Shors menyadari daya pukau itu;
maka ia meramu, meracik, dan mengolah
semua bahan tersebut menjadi hidangan
kisah cinta romantis tragis dalam novel
(fiksi) sejarah yang rencananya akan pula
segera diangkat ke layar lebar ini. Dalam narasi yang disuarakan oleh
Jahanara, novel Taj Mahal ini tampil
melankolis dan mendayu-dayu. Berlatar
belakang kerajaan Islam abad ke-17 dengan
aturan yang mengukung perempuan,
Jahanara–dan bukan Mumtaz Mahal– menjadi karakter istimewa dalam buku ini
dengan segala kecerdasan dan
keberaniannya. Keberanian seorang
perempuan yang melampaui ukuran
zamannya. Ia muncul sebagai sosok utama
yang menghidupi cerita. Pada versi lain disebutkan, bahwa setelah
pengerjaan Taj Mahal selesai, Sultan Jahan
kemudian memenggal kepala arsiteknya,
Isa, agar tak ada lagi karya yang mampu
dihasilkan menyamai kemegahan Taj Mahal.
Konon, dengan kejam ia juga memerintahkan untuk memotong tangan
setiap pekerja–sejumlah tidak kurang dari 20 ribu orang, terdiri dari tukang batu,
tukang kayu, pamahat, dan seniman ukir – yang terlibat. Setelah lebih 3 abad berselang, Taj Mahal
masih berdiri anggun, meskipun menurut
hasil penelitian,keempat menaranya mulai
mengalami kemiringan yang
mengkhawatirkan. Data terakhir
menunjukkan, bahwa kemiringan itu telah mencapai 22 cm. Hal lain yang juga serius
meminta perhatian adalah batu-batu
pualam putihnya mulai menguning seiring
berlalunya waktu dan musim yang silih
berganti. Satu hari nanti barangkali Taj
Mahal akan musnah dimakan usia; menyisakan kisah cinta abadi yang akan
selalu dikenang dari generasi ke generasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar